MODEL
KOMUNIKASI DALAM AL QUR`AN
Berikut ini
enam model komunikasi yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika
komunikasi Islam yang terdapat di dalam Al Quran, antara lain:
- Perkataan yang Benar قولا سديدا (Qaulan Sadidan)
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا
مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa: 9)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar”.(al-Ahzab:70)
Qaulan
Sadidan berarti
pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi
(materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi substansi,
komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual,
hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau
memanipulasi fakta.
“Hendaklah
kamu berpegang pada kebenaran karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada
kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq
‘Alaih). “Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu
Hibban). Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata
yang baik dan benar, baku, sesuai kaidah bahasa yang berlaku. “Sesungguhnya
segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari
Abdullah bin Basri).
Dalam bahasa
Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan mengguakan
kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Alferd
Korzybski, peletak dasar teori general semantics menyatakan bahwa penyakit jiwa
, baik individual maupun sosial, timbul karena penggunaan bahasa yang tidak
benar. Ada beberapa cara menutup kebenaran dengan komunikasi. Pertama,
menggunakan kata-kata yang sangat abstark, ambigu, atau menimbulkan penafsiran
yang sangat berlainan apabila kita tidak setuju dengan pandangan kawan kita.
Kedua, menciptakan istilah yang diberi makna lain berupa eufimisme atau
pemutarbalikan makna terjadi bila kata-kata yang digunakan sudah diberi makna
yang sama sekali bertentangan dengan makna yang lazim.
Oleh karena
itu Qaulan Sadidan juga berarti tidak bohong. Nabi Muhammad
bersabda, “Jauhi dusta, karena dusta membawa kamu pada dosa, dan dosa membawa
kamu pada neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu pada
kebajikan, membawa kamu pada surga”(HR. Muttafaq ‘Alaih). Al-Quran menyuruh
kita selalu berkata benar, supaya kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah.
- Perkataan yang Baik قولا معروفا (Qaulan Ma’rufan)
وَلَا تُؤۡتُوا السُّفَهَآءَ
اَمۡوَالَـكُمُ الَّتِىۡ جَعَلَ اللّٰهُ لَـكُمۡ قِيٰمًا وَّارۡزُقُوۡهُمۡ فِيۡهَا
وَاكۡسُوۡهُمۡ وَقُوۡلُوۡا لَهُمۡ قَوۡلًا مَّعۡرُوۡفًا
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS. An-Nisa: 5)
وَاِذَا حَضَرَ الۡقِسۡمَةَ اُولُوا
الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰكِيۡنُ فَارۡزُقُوۡهُمۡ مِّنۡهُ وَقُوۡلُوۡا
لَهُمۡ قَوۡلًا مَّعۡرُوۡفًا
“Dan apabila
sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.”(An-Nisa:8)
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيۡمَا
عَرَّضۡتُمۡ بِهٖ مِنۡ خِطۡبَةِ النِّسَآءِ اَوۡ اَکۡنَنۡتُمۡ فِىۡٓاَنۡفُسِكُمۡؕ
عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُوۡنَهُنَّ وَلٰـكِنۡ لَّا
تُوَاعِدُوۡهُنَّ سِرًّا اِلَّاۤ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا قَوۡلًا مَّعۡرُوۡفًا
“Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam padaitu janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf …”(al-Baqarah: 235)
قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّمَغۡفِرَةٌ
خَيۡرٌ مِّنۡ صَدَقَةٍ يَّتۡبَعُهَاۤ اَذًىؕ وَاللّٰهُ غَنِىٌّ حَلِيۡم
“Perkataan
yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun.”(al-Baqarah:263)
Qaulan
Ma’rufa artinya
perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak
kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa
juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
Kata qaulan ma’rufan disebutkan Allah dalam Al-Quran sebanyak empat
kali.
Pertama,
berkenaan dengan pemeliharaan harta anak yatim. Kedua, berkenaan dengan
perkataan terhadap anak yatim dan orang miskin. Ketiga, berkenaan dengan harta
yang diinfakkan atau disedekahkan kepada orang lain. Keempat, berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan Allah terhadap istri Nabi. Kata ma’rufan dari keempat ayat
tersebut, berbentuk isim maf’ul dari kata ‘arafa, bersinonim dengan kata
al-Khair atau al-Ihsan yang bermaksud baik. Berdasarkan paparan tersebut, maka
dapat disimpulkan betapa pentingnya berbicara yang baik dengan siapapun, di
mana pun, dan kapanpun, dengan sarat pembicaraannya itu akan mendatangkan
pahala dan manfaat, baik bagi dirinya sebagai komunikator maupun bagi orang
yang mendengarkan sebagai komunikan.
Bahkan
menurut Aristoteles kebaikan itu dapat dibagi menjadi: 1) Kebaikan mulia adalah
kebaikan yang kemuliaannya berasal dari esensinya, dan membuat orang yang
mendapatkannya menjadi mulia, itulah kearifan dan nalar; 2) Kebaikan terpuji
adalah kebaikan dan tindakan sukarela yang positif; 3) Kebaikan potensial
adalah kesiapan memperoleh kebaikan mulia dan kebaikan terpuji; 4) Kebaikan
yang bermanfaat adalah segala hal yang diupayakan untuk memperoleh kebaikan
lainnya. K
ebaikan itu
dapat pula dikategorikan, sebagai berikut: 1) Kebaikan substantif, yaitu
kebaikan bukan terjadi kemudian, melainkan sudah bersamaan dengan Allah. Allah
adalah kebaikan pertama karena segala sesuatu mengarah kepada-Nya,
mendambakan-Nya, untuk memperoleh kebaikan Ilahi sperti kekekalan, keabadian
dan kesempurnaan; 2) Kebaikan kuantiti, iaitu kebaikan yang berkenaan dengan
angka bilangan dan jumlahnya yang memdai; 3) Kebaikan yang berkenaan dengan
kualiti, yaitu kenikmatan.
- Perkataan yang Membekas di Hati
قولا بليغا (Qaulan Balighan)
اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ
يَعۡلَمُ اللّٰهُ مَا فِىۡ قُلُوۡبِهِمۡ فَاَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَعِظۡهُمۡ وَقُلْ
لَّهُمۡ فِىۡۤ اَنۡفُسِهِمۡ قَوۡلًاۢ بَلِيۡغًا
“Mereka itu
adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena
itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS. An-Nisa: 63)
Qaulan
Balighan artinya
menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah
dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak
berbelit-belit. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang
disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh peserta komunikasi/ komunikan ataupun
audiens.“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas)
mereka” (H.R. Muslim).
Berikut ini
perincian Al-Quran tentang qaulan balighan, yaitu Pertama, Qaulan
balighan terjadi bila komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan
sifat-sifat komunikan. Dalam istilah Al-Quran, ia berbicara fi anfusihim
(tentang diri mereka). Dalam istilah sunah, “Berkomunikasilah kamu sesuai
dengan kadar akal mereka”. Pada zaman modern, ahli komunikasi berbicara tentang
frame of reference dan field experience. Komunikator baru efektif bila ia
menyesuaikan pesannya dengan kerangka rujukan dan medan pengalaman
komunikannya.
Kedua, Qaulan
balighan terjadi bila komunikator menyentuh komunikan pada hati dan otaknya
sekaligus. Aristoteles pernah menyebut tiga cara yang efektif untuk memengaruhi
manusia, yaitu ethos, logos dan pathos. Dengan ethos (kredibilitas
komunikator), kita merujuk pada kualitas komunikator. Komunikator yang jujur,
dapat dipercaya, memiliki pengetahuan tinggi, akan sangat efektif untuk
memengaruhi komunikannya. Dengan logos (pendekatan rasional), kita meyakinkan
orang lain tentang kebenaran argumentasi kita. Kita mengajak mereka berpikir,
menggunakan akal sehat, dan memimbing sikap kritis. Kita tunjukan bahwa kita
benar karena secara rasional argumentasi kita harus diterima. Dengan pathos
(pendekatan emosional), kita bujuk komunikan untuk mengikuti pendapat kita.
Kita getarkan emosi mereka, kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka, kita
redakan kegelisahan dan kecemasan mereka.
- Pekataan yang Ringan قولا ميسورا (Qaulan Maysuran)
وَاِمَّا تُعۡرِضَنَّ
عَنۡهُمُ ابۡتِغَآءَ رَحۡمَةٍ مِّنۡ رَّبِّكَ تَرۡجُوۡهَا فَقُلْ لَّهُمۡ
قَوۡلًا مَّيۡسُوۡرًا
“Dan jika
kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu
harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah”. (QS. Al-Isra: 28)
Kata Qaulan
Maysuran hanya satu kali disebutkan dalam Al-Quran. Berdasarkan sebab-sebab
turunnya (ashab al-nuzulnya) ayat tersebut, Allah memberikan pendidikan kepada
nabi Muhammad SAW untuk menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana dalam
menghadapi keluarga dekat, orang miskin dan musafir. Secara etimologis, kata maysuran
berasal dari kata yasara yang artinya mudah atau gampang (Al-Munawir,1997:
158).
Ketika kata
maysuran digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maysuran yang artinya
berkata dengan mudah atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah
kata-kata yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami oleh
komunikan. Salah satu prinsip komunikasi dalam Islam adalah setiap
berkomunikasi harus bertujuan mendekatkan manusia dengan Tuhannya dan
hamba-hambanya yang lain. Islam mengharamkan setiap komunikasi yang membuat
manusia terpisah dari Tuhannya dan hamba-hambanya.
Seorang
komunikator yang baik adalah komunikator yang mampu menampilkan dirinya
sehingga disukai dan disenangi orang lain. Untuk bisa disenangi orang
lain, komunikator harus memiliki sikap simpati dan empati. Simpati dapat
diartikan dengan menempatkan diri kita secara imajinatif dalam posisi orang
lain (Bennett, dalam Mulyana, 1993: 83).
Namun dalam
komunikasi, tidak hanya sikap simpati dan empati yang dianggap penting karena
sikap tersebut relatif abstrak dan tersembunyi, tetapi juga harus dibarengi
dengan pesan-pesan komunikasi yang disampaikan secara bijaksana dan
menyenangkan. Qaulan Maysura bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah
dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah
kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
- Perkataan yang Lemah Lembut قولا لينا (Qaulan Layyinan)
فَقُوۡلَا لَهٗ قَوۡلًا لَّيِّنًا
لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوۡ يَخۡشٰى
“Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Thaha:44)
Qaulan
Layyina berarti
pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh
keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layyina
ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas,
apalagi kasar. Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan
Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun.
Dengan Qaulan
Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa
tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.Dengan demikian, dalam komunikasi
Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang
bernada keras dan tinggi. Kata Qaulan Layyinan hanya satu kali
disebutkan dalam Al-Quran (QS. Thaahaa: 44).
Ayat ini
merupakan perintah Allah swt kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mendakwahkan
ayat-ayat Allah kepada Firaun dan kaumnya. Firaun sebagai seorang Raja Mesir
memiliki watak keras, sombong, dan menolak ayat-ayat Allah, bahkan menantang
Allah dengan mengaku sebagai Tuhan. Nabi Muhammad saw mencotohkan kepada kita
bahwa beliau selalu berkata lemah lembut kepada siapa pun, baik kepada
keluarganya, kepada kaum muslimin yang telah mengikuti nabi, maupun kepada
manusia yang belum beriman.
Dalam
konteks komunikasi, model komunikasi demikian disebut komunikasi yang efektif.
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil mencapai tujuan dengan
feedback yang positif. Wilbur Schramm menuliskan apa yang dinamakan the
condition of success in communication (kondisi suksenya komunikasi).
Suksesnya
sebuah proses komunikasi paling tidak harus memiliki dua persyaratan, yaitu :
1) Ditinjau dari pesannya, (pesan harus direncanakan dan disusun sedemikian
rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan, pesan harus menggunakan
lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan
responden, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi penutur dan mengarahkan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut, pesan harus menyarankan
suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi di mana
responden berada pada saat ia digerakan untuk memberikan tanggapan yang
dikehendaki, pesan harus menggunakan kata-kata yang sederhana , halus, lembut,
dan tidak angkuh); 2) Ditinjau dari komunikatornya haruslah memiliki dua
kriteria yakni, (Source credibility, artinya komunikator harus memiliki
keahlian tentang masalah yang sedang dibicarakan. Juga Source attractiveness
atau daya tarikkomunikator).
Selanjutnya
bahwa Qaulan Layyina adalah ucapan baik yang dilakukan dengan lemah
lembut sehingga dapat menyentuh hati yang diajak bicara. Ucapan yang yang lemah
lembut dimulai dari dorongan dan suasana hati orang yang berbicara. Apabila berbicara
dengan hati yang tulus dan memandang orang yang diajak bicara sebagai saudara
yang dicintai, maka akan lahir ucapan yang bernada lemah lembut. Dengan
kelemahlembutan itu maka akan terjadi sebuah komunikasi yang akan berdampak
pada terserapnya isi ucapan oleh orang yang diajak bicara sehingga akan terjadi
tak hanya sampainya informasi tetapi jua akan berubahnya pandangan, sikap dan
prilaku orang yang diajak bicara.
- Perkataan yang Mulia قولا كريما (Qaulan Kariman)
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعۡبُدُوۡۤا
اِلَّاۤ اِيَّاهُ وَبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًاؕ اِمَّا يَـبۡلُغَنَّ عِنۡدَكَ
الۡكِبَرَ اَحَدُهُمَاۤ اَوۡ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَاۤ اُفٍّ وَّلَا
تَنۡهَرۡهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوۡلًا كَرِيۡمًا
“Dan Tuhanmu
Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia”. (QS. Al-Isra: 23)
Kata Qaulan
Kariman dalam Al-Quran disebutkan hanya satu kali, yaitu dalam surat
Al-Israa’ ayat 23.Substansi ayat tersebut, paling tidak mengandung dua hal,
yakni: (1) berkenaan dengan tuntunan berakhlak kepada Allah, dan (2) berkenaan
dengan tuntunan berakhlak kepada kedua orang tua. Menurut Hamka (1999: 63),
dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa akhlak kepada Allah merupakan pokok
etika sejati, sebab hanya Allah semata yang berjasa kepada kita, yang
menganugerahi hidup kita, memberi rezeki. Tuntunan akhlak kepada kedua orang
tua, antara lain: keharusan berbakti kepada orang tua, dan mengurus orang tua
di saat mereka sudah usia lanjut. Jika seorang anak mengikuti perintah Allah
ini, ia akan selamat di dunia dan di akhirat.
Qaulan
Kariman berarti
perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak
didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Qaulan Kariman harus digunakan
khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita
hormati. Dalam konteks komunikasi khususnya ilmu jurnalistik dan penyiaran,
Qaulan Kariman bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak
vulgar. Adapun kriterianya antaralain: pertama, kata-kata bijaksana: yaitu
kata-kata yang bermakna agung, teladan, dan filosofis.
Dalam hal
ini, Nabi saw sering menyampaikan nasihat kepada umatnya dengan kata-kata
bijaksana. Kedua, kata-kata berkualitas: yaitu kata-kata yang bermakna dalam,
bernilai tinggi, jujur, dan ilmiah. Kata-kata seperti ini sering diungkapkan
oleh orang-orang cerdas, berpendidikan tinggi, dan filsuf. Ketiga, kata-kata
bermanfaat: yaitu kata-kata yang memiliki efek positif bagi perubahan sikap dan
perilaku komunikan. Kata-kata seperti ini sering diucapkan oleh orang-orang
terhormat seperti kiai, guru, dan orang tua.
Pedoman
komunikasi semacam ini sangat dibutuhkan agar membentuk karakter peserta didik.
Jika sejak awal peserta didik telah di ajarkan dengan kata atau bahasa (qawl)
yang baik maka hal itu akan mempengaruhi sifat peserta didik. Sebaliknya jika
sejak awal peserta didik diajarkan dengan kata-kata yang kasar dan tidak baik
maka hal itu akan terpatri di dalam dirinya. Oleh karena itu, perlu seorang
guru melakukan komunikasi yang efektif terhadap anak. Seperti di dalam al
Qur’an telah dijelaskan hal ini sebagai berikut;
1. Qawlun
Ma’rufun
وَإِذَا
حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينُ
فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Terjemahnya:
“Dan apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat dan
anak-anak yatim serta orang-orang miskin, maka berilah mereka daripadanya
sekadarnya dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (an-Nisa’
(4) ayat 8).
Al-Qawl secara
harfiah bermakna perkataan atau komunikasi sedangkan ma’ruf berarti
baik, maka qawlun ma’ruf berarti perkataan atau komunikasi yang baik.
Lantas apa itu perkataan yang baik? Dan bagaimana standart untuk menentukan
baik (ma’ruf) atau tidak baik?
Ibnu Manzur
mengemukakan, “Al-ma’ruf dalam hadits adalah suatu istilah yang mencangkupi
sesuatu yang telah dikenal, yaitu meliputi ketaatan dan kedekatan kepada Allah,
berbuat ihsan kepada manusia, serta segala yang disunnahkan oleh syara’”.[4]
Maka perkataan ma’ruf adalah perkataan yang biasa dikenali oleh lawan bicara,
yang biasa dikenali itu sesuai dengan akal dan syara’. Al-Quran memerintahkan
agar melakukan komunikasi ma’ruf, yaitu model komunikasi yang biasa dikenali
sehingga mudah dipahami oleh lawan bicara.
Model
komunikasi ma’ruf ini perlu diaktualkan dalam melakukan komunikasi, terutama
dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran di kelas. Untuk itu, guru perlu
memilih kosakata yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik
serta memulai materi dari sesuatu yang sudah mereka kenali.
Dengan
demikian, ada ketersambungan apa yang disampaikan guru dengan apa yang sedang
peserta didik pikirkan. Pembelajaran akan bermakna bagi para peserta didik,
apabila dimulai dari materi yang telah mereka kenal. Itulah sebabnya kenapa
guru dalam menyampaikan materi pelajaran, terlebih dahulu dituntut agar
melakukan apersepsi dan menghubungkannya dengan materi pelajaran lain serta
kehidupan mareka. Dengan demikian, materi ajar akan terasa bermakna bagi siswa.
2. Qawlan
Layyinan
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ
أَوْ يَخْشَىٰ
Terjemahnya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha (20) ayat 44).
Syekh Nawawi
mengatakan: “Perkataan yang lemah lembut itu memiliki dua kekuatan, diterima
dengan hati terbuka atau menyebabkan takut kepada Allah dari meninggalkan
kemungkaran menuju kebenaran.”[5]
Inilah yang menjadi kelebihan dari perkataan yang baik. Pertama memang akan
menjadikan seseorang terbuka hatinya untuk mengikuti hal-hal baik
dinasehatinya. Atau ia akan merasa sungkan dan takut jika tidak melaksanakan
perbuatan itu. Kedua hal ini memang sangat efektif dalam menumbuhkan karakter
yang baik di dalam diri peserta didik.
Perkataaan
yang lunak lembut, tidka kasar, merupakan model komunikasi yang diajarkan
al-Quran kepada mansuia, walaupun terhadap musuh. Sepantasnya seorang pendidik
menggunakan model ini dalam proses pembelajaran, sebab hal itu dapat menarik
perhatia siswa terhadap materi yang disampaikan guru.
3.
Qawlan
Tsaqila
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”
(al-Muzammil (73) ayat 5).
Dari
Abdullah bin Amr berkata: “aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “wahai Rasullah
apa yang engkau rasakan ketika wahyu datang kepadamu?”, lantas berkata Rasullah
SAW, aku mendengar suara dentungan lonceng, kemudian aku diam ketika terjadi
hal itu, ketika wahyu itu turun tidaklah aku menyangka kecuali bahwa diriku
seolah-olah telah dicabut nyawaku.”[6]
Dalam proses
pembelajaran, terkadang memang tidak dapat dielakkan, pendidik atau guru
terpaksa menggunakan ungkapan-ungkapan yang berat bagi peserta didik, baik
dalam memahaminya ataupun mengamalkan pesan-pesan yang termuat dalam ungkapan
tersebut. Hal terkait dengan pokok bahasan, atau topik yang diperbincangkan.
Jika ini terjadi dalam suatu pembelajaran, maka guru perlu menggunakan strategi
atau teknik komunikasi yang relevan sehingga yang berat bisa menjadi ringan
atau mudah bagi peserta didik.
C.
Penutup
Komunikasi
yang baik adalah dua arah yang memahamkan kedua belah pihak, kata-kata yang
baik yang dibiasakan dapat membentuk kepribadian seseorang. Seyogyanya seorang
guru maupun siswa harus membiasakan hal ini agar lingkungan belajar yang
kondusif dapat tercipta. Begitu pula dengan kata-kata yang lembut, seseorang
yang mampu membiasakan berkata lembut, niscaya saat ia marah ia dapat
mengontrol kata-katanya, dan siapa pun yang berbicara dengan seseorang yang
seperti ini akan tercipta “meaningfull learning” dalam setiap kesempatan.
Dalam proses
pembelajaran terkadang tidak semua guru mampu menyampaikan sesuatu yang sulit
dengan bahasa yang mudah, dengan menerapkan Qawlan Tsaqila dalam pembelajaran
di kelas, niscaya miss understanding tidak akan terjadi, sehingga dapat
meminimalisir salah faham dan dapat menciptakan pembelajaran yang “meaningfull”